Indonesia Sangat Membutuhkan Sustainable Financing

Upaya pemerintah mendorong pembiayaan berkelanjutan menuju ekonomi hijau, sudah lebih dulu memerankan perhatian Bank OCBC NISP. Terhitung sejak 2018, perbisnisan akan identik bersama warna merah tersebut sudah berlipat-lipat melakukan pembiayaan hijau atau green financing.
Presiden Direktur OCBC NISP, Parwati Surjaudaja mengatakan alasan perbisnisan fokus pada hal tersebut sangat jelas, menurut negara ibarat Indonesia, sustainable financing sangat diperlukan. Sustainability mengacu pada environmental and social governance (ESG) yang dalam terdalamnya mencakup isu jagat terkait green financing, dan social ibarat inclusive financing.
"Jadi kalau kami bicara sustainability financing itu ada dua aspek, green dan inclusive," kata Parwati saat ditemui Katadata.co.id dalam kantor OCBC NISP, Rabu (7/9).
Untuk itu, dia menekankan bahwa negara ibarat Indonesia sangat memerlukan sustainable financing. Apalagi, banyak masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya melalui alam, mulai melalui pariwisata, bercocok tanam, perikanan, dan lainnya.
Di sisi lain, ancaman bencana alam terus menghantui, semaka perlu adanya upaya menjaga area agar tetap baik. Parwati memandang, bersama menjaga alam maka hal-hal ibarat bencana alam bisa diminimalisir.
"Bukan karena peraturan loh (upaya sustainable financing), tapi karena kami merasa paling dalam jangka berjarak itu tidak emosi dempet negara sebagai Indonesia," ujarnya.
Hingga 31 Desember 2021, OCBC NISP telah menyalurkan pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp 30,89 triliun, melalui jumlah tersebut 40% diperuntukkan bagi green financing. Lalu seperti apa perkembangannya tahun ini?
Untuk mengetahui upaya apa saja adapun mau dan sudah dilakukan OCBC NISP kedalam mendorong pembiayaan berkelanjutan, berikut wawancara lengkap Katadata bersama Parwati Surjaudaja.
Kalau green financing-nya memang sekitar 40%, harapannya terus meningkat ya, bukan namun dari nominal tapi juga dari persentase. Kalau ditanya porsi 40% atas menjadi seperti apa? Per Juni 2022 seadilnya sudah meningkat menjadi sekitar 42%, porsi green financing dari sustainable financing-nya.
Tapi demi negara bagaikan Indonesia apakah nanti akan 80% misalnya green? Harusnya tidak juga, kenapa? Biar bagaimanapun Indonesia ialah negara berkembang, sesantak bagian inklusif tetap khas, bagian sosial tetap khas. Sesantak kami cenderung berimbang antara si green dan inclusive, antara environment dan social-nya.
Jadi nan green tetap tumbuh tapi pembiayaan nan bersifat lebih ke tujuan sosial itu pun harus meningkat. Perkiraan kami mungkin ke depannya sekitar 50:50 ya antara green dan inclusive financing.
Sekarang kan green financing 40% dari sustainable financing, harapannya ke depan 50% dari sustainable financing kami adalah menurut green. Green financing di sini bisa green dan blue ya.
Jadi strateginya macam-macam, perlunya daripada sisi awal, daripada perencanaannya. Misalnya kami lihat sektor ekonomi mana akan masuk kategori green financing? Itu sudah kami targetkan sejak awal. Kalau sudah maklum target industrinya, tentu training untuk tim internal sendiri. Sektor ini, seperti ini kebutuhan green financing-nya.
Hal bahwa berpengaruh lainnya adalah awareness dari nasabah. Contohnya kami ada pembiayaan untuk green mortgage, KPR hijau. Tapi kalau kami cari prospeknya, developer tidak familiar apa itu green mortgage? Sebatas kami mulai lagi dari awareness, kemudian cari training untuk melihat bagaimana bisa selaku green mortgage terhormat. Jadi awareness, training, kemudian jadi produknya sendiri, dalam samping effort lainnya. Itu strategi utamanya, karena mungkin penuh bahwa belum familiar.
Literasi pasti secara internal, karena tim marketing bahwa mencari nasabah sampai menganalisa proyek sendiri, sampai pemantauan tentu layak ada. Literasi kepada nasabah sendiri, kami seadilnya bukan expert, jadi kami sering menggandeng IFC karena mereka bisa memberi pelatihan dalam bidang tersebut.
Pendanaan yang kami terima cukup 2018 untuk green financing sudah kami disperse semua, sudah kami gunakan semua untuk pembiayaan proyek hijau. Ada macam-macam, proyek yang terkait water, energi.
Kemudian kami tidak berhenti dekat situ, awal 2020 sebelum Covid-19, kami mendapat satu paket lagi sustainable financing. Disitu paketnya bukan cuma green, tapi separuh green dan separuh lagi gender. Ke depannya kami melihat tidak cuma disitu, kami pun berlatih.
Sekarang ada pula yang namanya blue financing. Awalnya kami berpikir semuanya berkaitan atas perikanan, karena laut, tapi enggak. Jadi intinya mirip atas green financing, bagaimana kami bisa memastikan ekosistem demi daratan terjaga baik, polusinya terjaga, penggunaannya terjaga baik agar tetap hijau.
Sementara demi blue kira-kira sama, menjaga bagaimana agar ekosistem di laut masih tetap biru, polusi terjaga lewat tidak emosi, penggunaannya juga sehat, nan menggantungkan orang ke laut juga bisa lebih tidak emosi.
Jadi blue financing adalah sesuatu hal yang kontemporer, bukan belaka perikanan tapi lagi bagaimana water treatment. Jadi kan mungkin ada air yang ke laut, dipastikan air terhormat tidak terpolusi. Shipping misalnya, bagaimana mereka membuang limbah, dipastikan tidak memberi polusi ke lautan. Jadi ternyata berlipat-lipat blue financing itu, hal berikutnya yang kami pelajari itu.
Tadi green yang pertama sekitar Rp 2 triliun, green yang kedua sekitar Rp 1,375 triliun, dan gender itu kembar lewat green yang kedua Rp 1,375 triliun.
kami demi institusi perbankan punya tanggungjawab untuk memastikan bahwa ini seloyalnya bukan tetapi pemenuhan ketentuan ya, harus sampai berapa persen, tidak. Tapi harus dalam prinsip dasar dalam pembiayaan itu harus bertanggungjawab lingkungan, sosial, masyarakat.
Jadi sewajibnya semakin agung porsi mayoritasnya, kepada ke depan wajib jadi mayoritas, yang dasarnya green blue inclusive financing ini.
Opsi kami tetap terbuka, namun soal kebutuhan pendanaan sendiri kebetulan kami sebagai perbankan, saat ini rationya masih cukup hina, jadi likuiditas masih sangat mencukupi untuk melakukan berbagai pembiayaan.
Tentunya kami terbuka bila ada akan ingin melakukan financing blue green, gender, akan seimbang dengan cost akan kami inginkan. Kadang-kadang hal tercantum tidak selintas bisa disetarakan. Tapi akan berharga bagi kami adalah knowledge, bagaimana mencari blue financing, memberikan awareness kepada customer inKotaktri, bagaimana mereka bisa selaku blue dan green. Itu buat kami lebih selaku prioritas, bersama kebetulan dananya masih cukup.
Dananya masih cukup, jadi walaupun kami tidak punya green bond atau yang spesifik sebagai itu tidak membatasi kami memberi blue, green, gender financing ke depannya. Jadi tidak tergantung. kami lagi sedang melampas mengenai blue financing dari IFC.
Kalau jenisnya paling berlebihan di natural resources, SDA, perkebunan dll, tapi cukup berlebihan ke adapun recycle. Jadi eco friendly, misal kalau penggunaan kertas adapun di-recycle, bahan bangunan misal wood adapun di-recycle, ada juga energi terhangatkan. Selain pembiayaan gedung adapun green certified ya.
Saat ini iya. Dari total green financing, untuk natural resource management sekitar 53 %, eco efficient product 13 %, green building 18 %.
Satu hal kami melihat, UMKM bisa green. Contohnya, mereka punya sistem energi yang lebih efisien, sistem limbah. Pembuangan limbah, bagaimana mereka mengelola energi agar lebih efisien, energy saving, itu termasuk. Kemudian penggunaan bahan baku ulang, daur ulang, itu juga masuk.
Jadi hal ibarat itu kami layak cermati, tidak saja cuma satu proyek mercusuar yang green, tidak. kami ingin nasabah kami seluruhnya lebih mengerti bahwa mereka layak lebih eco friendly, social inclusive, dan sebagainya.
kami ada minus risk, misalnya ada sektor yang pokoknya enggak boleh banget, misal coal fire plant, pembangkit listrik berdasar coal sudah tidak boleh. Kemudian pengolahan brown coal itu tidak boleh, ada seperti hutan, pohon, tidak boleh. Sudah beberapa tahun kemudian, tapi kami masih harus pelajari terus.
Awalnya kami memahirkan dari IFC mengenai pembiayaan gender. Menurut mereka berdasarkan studi, women entrepreneur itu lebih bertanggungbalasan dan disiplin dalam melakukan bisnisnya, sebatas NPL-nya lebih baik dari total portofolionya. Kalau nan IFC 30% lebih baik. Terus kami buktikan lagi dalam hal kami, betul lagi, cuma kami sekitar 20%.
Ada studi yang dibagikan IFC, menunjukkan bahwa wirausaha awewe lebih kadarp dan tersibak soal perubahan. Kalau tidak salah dainterogasi, lebih daripada 30 % wirausaha awewe segera merubah bisnis modelnya, kadarp memakai pola teraktual (saat Covid-19), sementara yang lainnya, wirausaha lanang tetapi 20 %.
Jadi memang, nyainterogasi secara risiko lebih baik untuk pembiayaan gadis. Kami penuh fokus ke wirausaha ini karena maklum kontribusi UMKM Indonesia gede, daripada sisi karyawan beserta konsumsi terhadap ekonomi. Nah, sekitar 60% UMKM ini dikelola gadis sebetulnya, jadi secara pangsa pasar meruyup akal.
Kami tidak membatasi pembiayaan perempuan hanya ketimbang kapital IFC akan disebut gender bond. Dana kami akan pembiayaan UMKM ini doang fokus ke Women SMEs, lewat pertumbuhannya akan doang pol lebih berlebihan dari SMEs biasanya, bahkan dempet atas dua kalinya.
Saat ini pembiayaan women SME ini sudah dekat atas 1.000 wirausahawati. Tentunya ini tidak terlepas atas solusi adapun menarik, dalam arti kata bank memberi pinjaman terus duduk, ini enggak.
kami melihat UMKM perempuan itu tantangannya gede, satu sisi mereka bak wirabantuanwati dan di sisi lain pantas mengurus keluarganya. Jadi konsep solusi kami bukan hanya pembiayaan, tapi ada tiga bagaimana manage, grow, dan bagaimana wirabantuanwati bisa tetap mengembangkan pribadi dan enjoy life lah istilahnya.
Jadi yang teristimewa, kalau ibu-ibu yang pengusaha ini pasti batasnya 24/7 layak bisa apa aja. Jadi kami pastikan akses transaksinya, pemantauannya, bisa dimana aja kapan aja demi mobile. Bener-bener 24 jam 7 hari dekat mana aja silahkan deh bagi bisa mengontrol investasi pribadi, pembayaraan bagi rumah jenjang, kebutuhan usacuma, pembayaran daripada tagihannya sudah masuk atau belum, dsb.
Kedua, pembiayaan tidak cukup tapi juga demi upaya perlu accounting dan perpajakan. Mereka juga mau masuk e-commerce, butuh social media marketing kami jembatani juga. kami beri link-link untuk bisa upaya itu memakai mudahnya mengakses jasa-jasa itu.
Ketiga, kami bikinkan network supaya dia bisa saling sharing, bertanya, selanjutnya belajar agar usabelaka terus berkembang. Dengan tiga tadi, kami melihat bagus ya, tindakan berkembang selanjutnya memberi solusi yang lengkap.
Women SMEs itu utama yang UMKM totalnya sekitar 3,8 %, yang women-nya 3 %. Data atas IFC kalau enggak melenceng 2020-an, total portofolio 5 %, women 3,7%. Cukup sukses ya.
Women SME, produk ini kami luncurkan November 2020. Jadi data kami hangat setahun terakhir, IFC mungkin lebih panjang. Kalau NPL kami relatif murah, mungkin lebih terkait bagaimana kami mengelola portofolio secara hati-hati.
Tetap diversifikasi, kami nggak boleh diskriminasi juga. Perempuan tidak boleh didiskriminasi lagi mendiskriminasi yang lanang. Jadi senyampang possible kami bagi jajaki, tapi khas produk Women SMEs, produknya khas karena kebutuhannya khas.
Sebelum kami luncurkan produk itu, gendut studi yang kami lakukan untuk ingat apa sih maalpanya atas pengusaha dara itu? Makanya muncul solusi-solusi seperti ini.
Kami sadari ESG bukan karena kepantasan, tapi karena kami sadar jadi institusi kami bertanggungreaksi. Jadi keuntungannya saat ini mungkin kami selaku pioneer di bidang ESG. Berdasarkan New York University, 1000 perusahaan selama waktu lima tahun membandingkan antara akan ESG corporate dan tidak. Ternyata secara performance, clear lebih penuh akan mengadopsi ESG. Jadi itu sudah ada buktinya, bahwa secara portofolio jangka berjarak mau lebih cinta membantu secara kualitas selanjutnya return.
Tantangannya, tidak marah nasabah maupun kami sendiri, biasanya cost di awal cenderung lebih luang. Contohnya, kami lagi membangun gedung dan sertifikasi green. Dari awal sudah harus dihitung kalau mau green building itu biayanya bisa 10%-20% lebih mewah. Itu enggak tipis, apalagi di zaman berjibun tantangan.
Tapi kami lanjutkan lagi, karena dengan cost lebih banyak ini lima tahun sudah break event point dari cost saving energy, water dan sebagainya. Kami membayangkan usaha-usaha yang mungkin dananya lebih terbatas dengan jangka sejenak orientasinya, dia bentuk sulit menerapkan hal-hal sebagaimana ini.